KOMITMEN untuk membentuk bangsa yang besar dan bersatu sebagai bangsa Indonesia yang dilandasi kebinekaan telah dirintis dan dicetuskan kaum pemuda pada 28 Oktober 1928, melalui Ikrar Sumpah Pemuda yang berisi tekad 'satu nusa, satu bangsa, dan satu bahasa: Indonesia'.
Peristiwa itu menjadi tonggak bangsa untuk bersatu melakukan perlawanan kepada penjajah Belanda dan Jepang guna merebut kemerdekaan Indonesia.
Cita-cita mulia para pemuda itu baru terwujud setelah 17 tahun kurang 2 bulan kurang 11 hari atau tepatnya pada 17 Agustus 1945, atas berkat rahmat Allah SWT, bangsa Indonesia telah menyatakan kemerdekaannya melalui proklamasi yang dibacakan dwi-tunggal Soekarno-Hatta.
Keesokan harinya, tepatnya pada 18 Agustus 1945, bangsa Indonesia dalam Sidang PPKI (plus) mengesahkan konstitusi negara yang disebut UUD Negara RI Tahun 1945 sebagai aturan dasar di dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Pada saat sidang itu, para pendiri bangsa telah mengadakan berbagai kesepakatan (konsensus) dasar, di antaranya falsafah dan dasar negara ialah Pancasila dan bentuk negara ialah negara kesatuan.
Dalam mengelola bangsa Indonesia yang multikultur dan plural, negara bersemboyankan Bhinneka Tunggal Ika.
Konsensus inilah yang menjadi prinsip-prinsip dan nilai-nilai dasar kehidupan berkebangsaan bagi bangsa Indonesia yang berada 'dari Sabang sampai Merauke, dari Kepulauan Sangihe sampai Pulau Rote'.
Cita-cita membentuk bangsa yang besar dan maju serta bersatu tidaklah mudah untuk diwujudkan.
Sejarah perjalanan bangsa Indonesia telah memberikan gambaran dan pelajaran yang berharga tentang bagaimana bangsa ini harus mengelola berbagai konflik yang hampir meluluhlantakkan kehidupan berkebangsaan dalam bingkai NKRI.
Sejak reformasi politik, pemerintahan, ekonomi, dan kehidupan sosial dilaksanakan sampai saat ini, berbagai penataan dan pembaruan diimplementasikan sehingga bangsa ini menjadi semakin terbuka, dinamis, dan demokratis.
Di satu sisi, itu telah mendorong kemajuan di berbagai bidang kehidupan politik-kenegaraan dan kehidupan sosial-ekonomi.
Di sisi lain, tidak dapat dimungkiri, itu juga menimbulkan berbagai konflik, kekerasan, dan kesenjangan.
Prestasi yang membanggakan dan patut diacungi jempol ialah bangsa ini mampu menyelesaikan konflik bersenjata di Aceh, membangun dialog dengan saudara-saudara kita di Papua, dan menekan kelompok garis keras (terorisme).
Akan tetapi, tindakan dan kehadiran pemerintah dalam membangun rasa aman dan menjaga persatuan-kesatuan dalam kehidupan masyarakat sehari-hari masih dirasakan belum maksimal.
Hal itu ditandai dengan masih tingginya tren konflik terkait dengan delapan gatra kehidupan berbangsa yang terjadi di berbagai daerah di Indonesia.
Pengelolaan sumber daya alam masih terus diwarnai sengketa lahan, sengketa perizinan, kepemilikan, sengketa hak ulayat, dan sengketa yang disebabkan tumpang tindih pengelolaan potensi SDA.
Dalam aspek kewilayahan, konflik antarwarga yang disebabkan sengketa batas wilayah daerah, kecamatan, dan kampung/kelurahan masih terus terjadi.
Sementara itu, tata kelola pemerintahan terus diwarnai penyelewengan jabatan yang berujung pada tindakan koruptif, rendahnya kualitas pelayanan publik, dll.
Dalam aspek politik, energi bangsa ini terkuras habis oleh berbagai sengketa internal parpol, sengketa hasil pemilihan umum, dan pertarungan antarelite yang tidak pernah berakhir.
Dalam aspek ideologi, Pancasila dihadapkan pada perselisihan ideologi dalam kehidupan sosial maupun di legislatif dan pemerintahan yang ditandai melalui produk-produk kebijakan politik dan berkembangnya ideologi selain Pancasila di beberapa lembaga pendidikan dan kelompok tertentu.
Kehidupan beragama tidak pernah berhenti menghadapi berbagai konflik interagama, antarumat beragama, penistaan agama, dan konflik antarkelompok dengan membawa panji-panji agama.
Dunia usaha sebagai salah satu tulang punggung ekonomi terus diwarnai sengketa perburuhan dan demonstrasi buruh sepanjang tahun.
Hukum tidak lagi dipandang sebagai salah satu pilar kehidupan demokrasi yang harus dijunjung tinggi oleh semua elemen bangsa.
Sementara itu, isu separatisme di wilayah Papua masih terus berhembus.
Konflik-konflik yang terjadi selama 17 tahun (1998-2015) di 34 provinsi dan hampir di seluruh kabupaten/kota telah menguras sumber tenaga dan potensi negara dan masyarakat, baik secara fisik, material dan ekonomi, maupun kesempatan pembangunan dan kemajuan bangsa, dengan jumlah mencapai lebih dari 250 ribu insiden/kasus.
Itu telah memakan korban sia-sia ribuan jiwa manusia yang tewas dan cedera, dengan kerugian harta benda yang sangat besar.
Ketidakstabilan kondisi sosial dan tidak terjaminnya keamanan tersebut berakibat pada menurunnya investasi, rendahnya penciptaan lapangan kerja, dan naiknya tingkat kriminalitas.
Hal yang sangat memprihatinkan ialah terusiknya persatuan dan kesatuan bangsa.
Berdasar pada pemikiran di atas dan pada Nawa Cita pemerintah, sebagai renungan di akhir 2015, hendaknya bangsa Indonesia perlu merenung dan merefleksi diri atas capaian dan perkembangan dinamika yang terjadi dalam kehidupan berkebangsaan agar mampu menyelesaikan berbagai konflik yang terjadi, serta mampu menjadi bangsa yang besar, plural dan multikultur, serta bersaing dengan bangsa lainnya.
Berbagai pemikiran untuk maju melangkah ke depan, pertama, kita harus berani mengoreksi diri, apakah kita telah benar-benar sejalan dengan pemikiran para pendiri bangsa.
Kedua, kesadaran kebangsaan harus ditanam, disemai, dan dikembangkan.
Ketiga, kesadaran kebangsaan harus ditujukan untuk membangun karakter bangsa (nation character building) dan membangun kesadaran akan sistem nasional (national system building).
Keempat, nation character building akan menumbuhkan kesadaran rasa, jiwa, dan semangat kebangsaan sehingga setiap perbedaan dan konflik akan diselesaikan dengan menjunjung tinggi persatuan-kesatuan.
Kelima, national system building akan menumbuhkan kesadaran bagi setiap warga bangsa dan pejabat pemerintahan negara untuk tunduk dan patuh terhadap aturan.
Keenam, ketika kesadaran dan kebanggaan terhadap sistem nasional telah tumbuh dengan benar, rakyat dan pemerintah akan hadir menyelesaikan persoalan bangsa.
Untuk refleksi atas kehidupan berkebangsaan, marilah kita selalu menjunjung tinggi semboyan Bhinneka Tunggal Ika Tanhana Dharmma Mangrva.
Kita aktualisasikan dalam pengertian 'meskipun kita berbeda-beda, tetapi hanya satu kesetiaan kita yaitu kepada negara dan bangsa Indonesia' dalam menghadapi dan menyelesaikan konflik dan perbedaan.
Post a Comment