Hi, guest ! welcome to Yahoo!. | About Us | Contact | Register | Sign In

Tuesday, September 15, 2015

Menggiring Detak Pilkada Serentak (2)


UNTUK mengatasinya, Zuhro mengatakan jalan yang harus diambil bukanlah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) tetapi merevisi UU No. 8 tahun 2015 tentang Pilkada secepatnya. Hanya saja, lanjutnya, revisi juga bukan hal yang mudah. Sebab, harus jelas dan mampu dipastikan tidak menjadi sarana tarik-menarik kepentingan politik. Mengingat, ada dua kubu di DPR, Koalisi Merah Putih (KMP) dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH). “Ada kesalahan juga dari DPR yang mengesahkan pilkada serentak 9 Desember. Kemudian, tidak antisipatif,” ujarnya.
Seperti diketahui, hingga batas akhir pendaftaran calon kepala daerah, 7 Kabupaten/Kota masih memiliki calon tunggal, yaitu Kota Mataram (Provinsi NTB), Kabupaten Timor Tengah Utara (NTT), Kabupaten Tasikmalaya (Jawa Barat), Kota Samarinda (Kalimantan Timur), dan Kabupaten Blitar (Jawa Timur), Kota Surabaya, dan Kabupaten Pacitan (Jawa Timur). Kemudian, 83 daerah dinyatakan hanya memiliki dua pasangan calon. Tak ayal, ini pun berpotensi untuk menjadi calon tunggal. Menyikapi hal tersebut, Presiden menggelar pertemuan dengan sejumlah pimpinan lembaga negara terkait, guna mencari solusi di Istana Kepresidenan Bogor, pada Rabu (05/08).
Kemudian, atas keputusan rapat, Bawaslu memberikan rekomendasi kepada KPU agar proses pendaftaran calon kepala daerah di 7 Kabupaten/Kota tersebut diperpanjang kembali. Akhirnya, KPU menyetujui rekomendasi Bawaslu untuk menambah waktu pendaftaran di 7 wilayah yang hanya memiliki satu pasangan calon, selama 3 hari. Tetapi, akan melakukan sosialisasi terlebih dahulu kepada masyarakat dan partai selama tiga hari perihal perpanjangan pendaftaran. Karenanya, pendaftaran baru akan dibuka tanggal 9 Agustus sampai 11 Agustus 2015. Hanya saja, terkait potensi calon tunggal di 83 daerah, pemerintah belum mengambil sikap (beritasatu.com, 08/08).
Revisi UU Pilkada awalnya merupakan niat DPR, namun telah ditolak oleh pemerintah. Meski belum bersifat resmi, DPR akan tetap mengusulkan revisi ini dan menunggu jawaban pemerintah di badan legislasi. Persoalan revisi UU Pilkada ini bermula dari keputusan KPU yang telah menyetujui draft peraturan KPU mengenai parpol yang bersengketa. KPU memberikan syarat untuk parpol yang bersengketa di pengadilan harus sudah memiliki kekuatan hukum tetap atau sudah islah sebelum pendaftaran pilkada.
Pada rapat antara pimpinan DPR, Komisi II DPR, KPU, dan Kemdagri (04/05), DPR meminta KPU untuk menyertakan putusan sementara pengadilan sebagai syarat untuk mengikuti pilkada. Namun, KPU menolak karena tidak ada payung hukum yang mengatur hal itu. Akhirnya, DPR berupaya untuk merevisi UU Parpol dan UU Pilkada untuk menciptakan payung hukum baru (kompas.com, 20/05).
Sementara terkait Perppu, sebelumnya Kementerian Hukum dan HAM telah menyiapkan draft-nya untuk mengatur calon tunggal dalam penyelenggaraan Pilkada pada Desember 2015 mendatang. Menteri Hukum dan HAM, Yasonna H Laoly, mengaku telah mengajukan draft tersebut kepada Presiden Joko Widodo (10/08). Presiden akan menilai dalam tujuh hari. Meski Perppu sudah ada, Yasonna mengatakan presiden memiliki kewenangan penuh untuk menandatanganinya atau tidak. Jika ditandatangani, maka Perppu akan diajukan ke DPR untuk pengesahan (cnnindonesia.com, 12/08).
Dalam hal ini, Wakil Presiden Jusuf Kalla di kemudian hari telah menegaskan bahwa pemerintah tidak akan menerbitkan Perppu untuk mengantisipasi munculnya calon tunggal. Pemerintah hanya menjalankan amanat undang-undang yang mengatur bahwa pemilihan kepala daerah harus ditunda jika tidak memenuhi syarat minimal dua pasangan calon. Wapres juga menegaskan bahwa pilkada di empat daerah yang tidak memenuhi syarat jumlah calon pasangan, terpaksa ditunda hingga 2017. Hal ini berdasarkan hasil rapat terbatas Presiden Jokowi bersama Wapres, Selasa (11/08). Salah satu pembahasan dalam rapat itu berkaitan dengan pelaksanaan pemilihan kepala daerah secara serentak dengan menunda pilkada di empat kabupaten sesuai keputusan KPU. Penundaan ini setelah batas akhir perpanjangan pendaftaran usai pada 11 Agustus 2015 (kompas.com, 12/08).
Menurut Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo, pemilihan kepala daerah (pilkada) pada era Orde Baru (Orba) jauh lebih stabil. Meskipun pilkada saat itu dilakukan oleh DPRD. Ini karena kalau dari PNS (pegawai negeri sipil), minimal sudah sekda (sekretaris daerah). Kalau unsur TNI minimal komandan Kodim atau panglima Kodam. Itu merata hampir seluruh daerah.
Sementara pada era Reformasi, pilkada dilaksanakan secara langsung. Prosesnya terbuka. Orang yang punya uang bisa masuk, didukung partai bisa masuk, lewat independen bisa masuk. Latar belakang apapun terserah, ujarnya. Tjahjo pun mengungkapkan, pejabat struktural di provinsi, kabupaten/kota kerap mengeluh karena beragamnya latar belakang kepala daerah, yang berasal dari berbagai disiplin ilmu dan pengalaman yang beragam. Maka dari itu, Lemhanas dan Kemdagri punya inisiatif, bahwa kepala daerah yang terpilih harus ikut pendidikan dan latihan di Kemdagri selama dua minggu, pungkasnya (sp.beritasatu.com, 04/08).
Sekolah Pamong Praja dan Revolusi Mental Aparat Pemerintahan, Cukupkah?
IPDN (Institut Pemerintahan Dalam Negeri) adalah salah satu Lembaga Pendidikan Tinggi Kedinasan dalam lingkungan Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia yang bertujuan mempersiapkan kader pemerintah, baik di tingkat daerah maupun di tingkat pusat. Dengan kata lain, IPDN adalah kawah candradimukanya Kemdagri untuk menggembleng kader-kader pemerintahan yang tangguh bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Namun, pada 10 Oktober 2007, dalam sebuah sidang kabinet, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memutuskan untuk menggabungkan STPDN dengan Institut Ilmu Pemerintahan (IIP) menjadi IPDN menyusul terungkapnya kasus kekerasan yang terjadi di STPDN. Sebuah corengan, seperti inikah sepak terjang para taruna yang akan menjadi pamong praja dan pemimpin di tengah-tengah masyarakat?
Mungkin ada benarnya jika Rektor IPDN yang baru dilantik, Ermaya Suradinata mengatakan bahwa sejak 1957 Bung Karno sudah membuat revolusi mental dalam hubungannya dengan perubahan mindset aparatur negara yang dulu itu ingin dilayani menjadi harus melayani masyarakat. Maka dari itu, seyogyanya harus dihidupkan lagi agar tetap relevan dengan saat ini dan masa depan. Bahkan menurutnya, sebagai wujud pemerhatian terhadap para taruna, sistem pendidikan di IPDN akan diubah. Nantinya, setiap barak akan ada pengasuh. Tadinya pengasuh hanya di satu tempat saja dan jauh dari barak. Nantinya, pengasuh akan ditempatkan dekat dengan barak dan bertanggungjawab dengan yang diasuh. Dan untuk menjadi pengasuh harus pula mengikuti tes serta mendapatkan pendidikan psikologis.
Tak hanya itu, Ermaya pun ingin mengutamakan penempatan lulusan IPDN di kelurahan-kelurahan di seluruh Indonesia. Hal ini sebagai upaya penempaan diri para lulusan. Dan sebelum ditempatkan mereka akan dilakukan diklat profesional agar siap di lapangan (berita.suaramerdeka.com, 08/08).
Revolusi mental sendiri merupakan jargon besar pemerintahan Jokowi-JK. Tak main-main, menurut Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas (saat itu), Andrinof Chaniago, pemerintah menganggarkan Rp 149 miliar untuk program Revolusi Mental yang sudah disetujui DPR. Rencanannya dana itu akan digunakan untuk membiayai program-program yang bisa mengubah perilaku masyarakat. untuk menyadarkan masyarakat, perlu dibuat program kampanye. Mulai dari iklan, film hingga dialog publik dari tokoh-tokoh yang berpengaruh. Anggaran Revolusi Mental itu akan digunakan untuk mendanai program tersebut. Rencanannya uang itu akan disebar di sejumlah kementerian, termasuk Kementerian Pendidikan, Kementerian Agama dan Kementerian Sosial, dan Kementerian Kordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, yang kata Andrinof mengambil peran paling besar. Termasuk peran tokoh agama di sini adalah menjadi pembicara soal perubahan perilaku (tribunnews.com, 21/02).
Secara spesifik, Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Puan Maharani pun menyatakan, aparat pemerintah mulai dari tingkat desa hingga tingkat pusat merupakan pelopor gerakan nasional Revolusi Mental. Menurut Puan, gerakan nasional Revolusi Mental yang digaungkan oleh pemerintahan Jokowi-JK merupakan gerakan segenap rakyat dan bangsa Indonesia. Revolusi Mental melalui Gerakan Hidup Baru akan menghidupkan kembali dan menggelorakan idealisme sebagai sebuah bangsa, menggelorakan kembali rasa keikhlasan dan gotong-royong sesama anak bangsa. Oleh karena itu, kata Puan, gerakan nasional Revolusi Mental sebagai gerakan hidup baru rakyat Indonesia membutuhkan keteladan dan kepeloporan. Keteladanan dan kepeloporan itu, lanjut Puan, harus dimulai dari aparatur pemerintahan dengan mengubah cara berfikir, kerja dan cara berperilaku.
Ini perlu disoroti, karena aparat pemerintah adalah sebagai agen perubahan, disamping sebagai pelopornya. Karenanya Puan berharap seluruh bangsa Indonesia mampu menginternalisasi tiga nilai strategis instrumental Revolusi Mental, yaitu integritas, kerja keras dan gotong royong (tribunnews.com, 30/04).
Namun, cukupkah demikian? 
BERSAMBUNG
Share this article now on :

Post a Comment

:)) ;)) ;;) :D ;) :p :(( :) :( :X =(( :-o :-/ :-* :| 8-} :)] ~x( :-t b-( :-L x( :-p =))