Jika dilihat dari perkembangan
eksternal dan internal, target pemerintah kurang realistis karena relatif
terlalu tinggi. Padahal, kita sama-sama sudah tahu, prospek pertumbuhan ekonomi
dunia sekarang ini justru turun akibat penguatan dolar AS, penurunan harga
komoditas, penurunan pertumbuhan ekonomi Republik Rakyat Cina (RRT) dan di
semua negara-negara Eropa maupun “Emerging Markets”, devaluasi Renmimbi,
ancaman kenaikan suku bunga The fed, penurunan “Capital Inflow” dan ancaman
krisis finansilan di Indonesia dan malaysia, dsb.
Secara internal, “Current Account”
kita ternyata makin memburuk karena ekspor justru mandek dan impor juga mandek
(ini indikasi bahwa ekonomi domestik negara kita juga mulai memburuk akibat
terpaan depresiasi nilai tukar rupiah, karena barang-barang impor jadi sangat
mahal untuk pengusaha di Indonesia), pemutusan hubungan kerja (PHK) meningkat
dan konsolidasi kelembangan di kabinet saat ini masih belum kunjung selesai
sehingga dana pada APBD masih belum bisa dikucurkan dengan lancar (padahal,
sumber dana inilah satu-satunya yang bisa kita pakai untuk menumbuhkan ekonomi
negara kita), daya serap anggaran pada semua APBD 2015 sampai semester II
seantero Indonesia baru 14 persen, harga-harga naik, daya beli masyarakat turun
(ini sangat berbahaya. karena selama ini sektor konsumsi adalah andalan utama
pertumbuhan ekonomi kita), target pajak yang terlalu tinggi pada ekonomi lesu
justru menambah beban para pengusaha dan dunia usaha.
Kalau angka pertumbuhan ekonomi
2015 yang realistis berapa ? Sekitar 5 persen.
Bagaimana daya serap anggaran yang
mesih rendah di pusat dan daerah; bagaimana solusinya agar lebih banyak
terserap dan dapat menumbuhkan ekonomi lokal dan nasional, termasuk ekspor,
sehingga ancaman resesi ekonomi dan PHK massal pekerja tidak sampai terjadi?
Solusi masalah ini ada di kebijakan pemerintah sendiri.
Presiden RI Joko Widodo (Jokowi)
harus segera berperan sebagai “troublesshooter” untuk mengatasi masalah krusial
pencairan dana APBN oleh semua kementerian sesegera mungkin.
Demikian pula, terhadap masalah
daya serap APBD oleh semua daerah di seluruh Indonesia, Segera panggil semua
Gubernur dan pimpinan daerah bupati/walikota untuk bersinergi dan menyepakati
solusi cepat untuk mengatasi masalah ini. Ingat waktu terus berjalan dan tahun
2015 tinggal 4 bulan lagi.
Lantas bagaimana kesimpulan dampak
perombakan Kabinet Indonesia Hebat (KIH) terhadap postur ekonomi nasional di
tengah ancaman krisis ekonomi dunia dan dominasi ekonomi Tiongkok serta negara
maju lain yang makin ekspansif? Apa yang seharusnya dibuat pemerintah dan
kabinet, dunia usaha, serta masyarakat? Padahal, Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)
sebentar lagi diberlakukan, Mau dibawa kemana ekonomi dan masa depan Indonesia?
Dampak perombakan kabinet ada dimensi ekonomi dan ada dimensi politinya. Kalau
dilihat dari kepentingan percepatan pelaksanaan program-program ekonomi
pemerintah sepertinya bagus. Yang perlu dilakukan Presiden Jokowi adalah memicu
agar kabinetnya segera bekerja secara efektif. Jangan sampai perombakan kabinet
justru memperuncing konflik kepentingan bisnis antar pihak yang ada dalam
pemerintahan dan antarayang ada dalam pemerintahan dengan yang ada di partai-partai
politik yang ada diluar pemerintahan.
Ekonomi RRT sudah dapat dipastikan
turun dan bahkan akan menjadi makin parah akibat “Currency war” yang dipicu
oleh RRT dengan mendevaluasi mata uangnya.
Amerika Serikat dan
sekutu-sekutunya tentu sedang bekerja keras untuk membalas seranga RRT.
“Perang” ini bisa memicu negara-negara lain untuk ikut “perang” pula jika
kepentingan ekonomi nasionalnya terancam.
RRT merupakan mitra dagang utama
kita dan sejak 2014/2015 kita sudah terlanjur memilih RRT dan Jepang sebagai
mitra dagang utama, ini tentu akan terpengaruh signifikan oleh penurunan
ekonomi RRT.
Pemerintah mesti kerja lebih cepat
menggelontorkan APBN dan APBD, bekerja secara efektif dan masuk lebih dalam
dalam ke dunia usaha dan masyarakat untuk menjaga dan meningkatkan
“trustworthy” mereka yang menurut CIA (badan Intelejen AS) sudah menurun 18
persen sejak januari sampai juli 2015.
Saat ini pemerintah Indonesia sudah
tidak punya waktu untuk berpikir tentang MEA. Menjaga agar pertumbuhan bisa
minimal 5 persen sudah merupakan upaya optimal yang dapat dilakukan pemerintah
sehingga masalah MEA bisa ikut diatasi secara apa adanya.
Namun, hal ini sama sekali tidak
ada maksud menertawakan nasib negara kita di ASEAN.
Arena persaingan dalam MEA itu
berlapis-lapis.
Lapisan pertama adalah antar negara
ASEAN.
Lapisan kedua adalah antar negara
ASEAN versus Australia dan New Zaeland.
Lapisan ketiga adalah menjaga
kestabilan pengaruh RRT, AS dan negara-negara Eropa di ASEAN, Ruwetkan !.
Bagaimana dengan masih adanya
peluang dunia usaha kita, terutama dari sektor pertanian, dan perkebunan serta
ekonomi kreatif, yang punya keunggulan kompetitif dan komparatif? Untuk menjaga
kepentingan ekonomi domestik, pertanian dan perkebunan memang benar, akan
tetapi, untuk mendorong ekspor tampaknya sedang tidak bisa diandalkan karena
selain faktor permintaan yang sedang menurun, harga komoditas ekspor pertanian
dan perkebunan juga sedang menurun. Buktinya ekspor kita selama semester II justru
turun.
Lebih baik digunakan untuk menjaga
kestabilan ekonomi domestik yang sedang menghadapi daya beli yang sedang
menurun.
Ekonomi Kreatif juga sangat bagus
prospeknya, tetapi nilainya cuma sekitar 2 milyar dolar AS. Keunggulan
komparatif, ya, tetapi keunggulan kompetitif sepertinya belum.
Oleh : Toto Sudarmongi
Post a Comment