SALAH satu krisis yang senantiasa menggelayuti bangsa ini ialah krisis keteladanan dari pemimpin dan elite negeri. Keteladanan seperti barang langka yang hanya dipunyai sebagian kecil dari begerbong-gerbong elite yang belakangan sangat banyak muncul di negara ini.
Mangkirnya mantan Ketua DPR Setya Novanto dari pemanggilan Kejaksaan Agung terkait dengan kasus dugaan pemufakatan jahat permintaan saham PT Freeport Indonesia, kemarin, kembali menyajikan bukti bahwa keteladanan itu memang nyaris sirna.
Novanto sebagai pejabat negara, sebagai anggota DPR yang terhormat yang mestinya memberi teladan di bidang apa pun, termasuk penegakan hukum, justru memberikan contoh buruk kepada publik dengan tak mengindahkan panggilan Kejaksaan Agung.
Ia tampaknya ingin kembali `bermain-main' dengan penegak hukum. Ia seolah hendak mengulang `kisah sukses' seperti dulu ketika ia `mempermainkan' Mahkamah Kehormatan Dewan DPR dalam kasus serupa. Padahal, Kejaksaan Agung memanggil Novanto untuk menggali keterangan sebagai pertimbangan apakah di kasus tersebut terdapat unsur tindak pidana korupsi atau tidak.
Karena itu, dengan tidak datang ke Kejaksaan Agung, selain mencoreng muka sendiri, Novanto mestinya merasa rugi karena ia menutup satu kesempatan untuk menjelaskan segamblang-gamblangnya kasus tersebut menurut versi dia. Jika sudah seperti itu, publik pun patut bertanya-tanya, benarkah Novanto tidak bersalah dalam perkara tersebut seperti yang selalu ia gembar-gemborkan, baik lewat ucapannya sendiri maupun melalui tim pengacaranya.
Kalau memang merasa tidak bersalah, kenapa ia mesti takut menyanggupi panggilan Kejaksaan Agung? Banyak lagi pertanyaan yang mungkin masih menggantung di benak publik berkaitan dengan sepak terjang Novanto yang seolah tak bisa disentuh itu. Namun, sesakti apa pun Novanto, dalam menuntaskan perkara tersebut Kejaksaan Agung tidak boleh memandang Novanto sebagai orang spesial.
Dalam hukum berlaku prinsip kesetaraan bahwa kedudukan setiap warga negara sama di depan hukum, tidak ada yang diistimewakan. Kejaksaan Agung harus meneruskan ketegasan Presiden Joko Widodo yang beberapa waktu lalu meminta agar tidak ada pihak yang mencatut lembaga negara, termasuk presiden dan wakil presiden.
Apalagi, pencatutan itu dilakukan demi meminta imbalan saham dari perusahaan yang perpanjangan kontrak karyanya sedang dalam tahap pembahasan. Justru karena yang diduga mencatut nama dan jabatan presiden dan wapres itu ialah seorang pejabat negara, Kejaksaan Agung mesti lebih menebalkan keberanian dan ketegasan.
Pemanggilan pertama boleh ditampik, tapi Kejaksaan Agung masih punya kesempatan untuk memanggil Novanto untuk yang kedua dan seterusnya. Namun, Kejaksaan Agung harus siap menghadapi jurus berkelit yang lebih canggih yang barangkali bakal lebih sering dilakukan.
Langkah Kejaksaan Agung untuk memeriksa Novanto tak boleh surut karena ini menyangkut kepercayaan rakyat.Hingga detik ini kepercayaan publik masih berpihak kepada Kejaksaan Agung dengan banyaknya dukungan kepada lembaga tersebut. Jangan sampai kepercayaan itu malah bergeser karena Kejaksaan Agung kehilangan momentum dan kalah bertarung melawan kelihaian Novanto. (MI)
Post a Comment