Hi, guest ! welcome to Yahoo!. | About Us | Contact | Register | Sign In

Monday, January 18, 2016

Mencegah Bola Liar Amendemen UUD 1945



GAGASAN Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Megawati Soekarnoputri untuk mengembalikan kewenangan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) menetapkan program pembangunan jangka panjang seperti Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN), mulai mendapat respons positif.


Bukan hanya Presiden Joko Widodo, melainkan juga semua pucuk pimpinan partai, mulai dari Golkar, Gerindra, PAN, NasDem, bahkan juga Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI.



Sudah pasti dalam pemikiran partai-partai atau kelompok DPD di MPR, dukungan tersebut dengan catatan dan syarat masing-masing.



Gagasan yang kemudian diformalkan sebagai rekomendasi Rakernas PDIP 2016 memang akan membawa beberapa implikasi yang suka atau tidak akan menjadi wacana politik secara nasional.


Arah bahwa pengembalian GBHN disertai dengan penguatan MPR sebenarnya konsisten dengan gagasan Megawati sejak awal.



Gagasan ini pernah dilontarkan saat memberi ceramah umum di Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas), akhir Mei 2015.



Saat itu timbul tanya, apakah gagasan tersebut sekadar ekspresi emosional atau romantika belaka, atau sebuah pemikiran yang konseptual.



Gagasan Megawati secara pribadi atau menjadi konsep PDIP sebagai partai pemenang pemilu dan pengusung Presiden-Wakil Presiden.



Karena itu, pidato tersebut disampaikan di Lemhannas, lembaga pengkajian nasional yang prestisius, pasti ada tujuan strategisnya. Setidaknya, orang mulai bertanya-tanya ada apa dengan Megawati dan PDIP?



Apalagi, dalam pidato itu tidak hanya soal MPR yang diingatkan, tetapi juga soal Pancasila.



Megawati mengingatkan inti dari Pancasila ialah gotong royong.



Penjabaran Pancasila dalam susunan lembaga negara, terutama MPR harus konsisten terhadap semangat nilai-nilai dalam Pancasila.



Karena itu, MPR tak bisa disejajarkan dengan DPR, DPD, dan lembaga kepresidenan.



MPR harus dikembalikan pada muruah asalnya sebagai lembaga tertinggi.



Menurut Megawati, ketika amendemen UUD 1945 dilakukan (2000-2003), seluruh mata batin kenegaraan seolah dikaburkan oleh kekuatan euforia demokrasi.



Kekuasaan otoriter yang mendadak jebol, tidak memberi kesempatan untuk melihat sejarah dari sumber primer, khususnya keseluruhan gagasan ideal mengenai Indonesia merdeka.



Ternyata, usulan Megawati tersebut bukan hal yang baru.



Ia sudah pernah mengusulkan hal yang sama dalam acara Pekan Kebangsaan Indonesia dengan tema Indonesia menyongsong Pemilu 2014, 10 Desember 2013.



Untuk lebih meningkatkan koordinasi antarlembaga negara, ia meminta seluruh elemen bangsa memikirkan kembali posisi MPR sebagai lembaga tertinggi negara.



Alasannya, kewenangan MPR sebagai lembaga tertinggi negara sangat penting di saat negara harus memutuskan sesuatu dalam kondisi genting.



Bola liar



Ternyata, gagasan Megawati merupakan perenungan yang serius. Ini terlihat dari pernyataannya ketika memberikan pidato kunci pada seminar Hari Konstitusi di MPR, 18 Agustus 2015.



Ia menegaskan para pendiri bangsa memang ingin membangun sistem ketatanegaraan yang berbeda dengan sistem yang sudah ada, antara lain yang menganut sistem pemisahan kekuasaan, termasuk mengatur kekuasaan negara yang tertinggi di tangan MPR sebagai penjelmaan dari seluruh rakyat Indonesia.



Bahkan, pernyataan mengenai perlunya GBHN atau program pembangunan semesta berencana, juga diulangi Megawati pada simposium di MPR, Desember 2015.



Berbagai reaksi kemudian muncul setelah konsep dan pemikiran Megawati tersebut ditindaklanjuti menjadi rekomendasi resmi Rakernas PDIP.



Setidaknya ada dua pertanyaan besar, pertama apakah jika MPR diberi kewenangan lagi untuk menetapkan GBHN, itu berarti mengukuhkan kembali sebagai lembaga tertinggi negara?



Dampaknya, apakah Presiden akan menjadi mandataris MPR kembali atau bahkan ada kemungkinan MPR juga diberi kewenangan untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden lagi?



Pertanyaan yang lain, apabila penguatan MPR dengan memberi kewenangan menetapkan GBHN itu dilakukan melalui amandemen UUD, apakah tidak akan berkembang ke mana-mana menjadi bola liar?



Mengenai sebagai lembaga tertinggi negara sebenarnya hanya soal tafsir, tidak pernah disebutkan juga secara eksplisit dalam naskah UUD 1945 sebelum diamendemen.



Kewenangan menetapkan GBHN yang mengikat Presiden, bahkan sebelum amendemen MPR juga berwenang memilih Presiden dan Wakil Presiden, maka disimpulkan MPR sebagai lembaga tertinggi.



Sekarang pun dengan kewenangan bisa menetapkan dan mengubah UUD, dan bisa memakzulkan serta mengangkat Presiden dan Wakil Presiden pengganti, tidak ada lembaga negara lain yang kewenangannya melebihi MPR.



Kemungkinan jadi bola liar, agenda amendemen berkembang ke mana-mana, misalnya memberi kewenangan MPR untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden, sebenarnya prosedur amandemen sudah membatasi hal tersebut.



Pasal 37 ayat (2) UUD 1945 menyebut, "Setiap usul perubahan pasal-pasal Undang-Undang Dasar diajukan secara tertulis dan ditunjukkan dengan jelas bagian yang diusulkan untuk diubah beserta alasannya."



Pembahasan hanya akan terbatas pada usulan yang disepakati oleh minimal sepertiga anggota MPR.



Politik jalan tengah



MPR melalui Badan Pengkajian MPR telah mengantisipasi kemungkinan adanya usulan penyempurnaan UUD 1945 karena MPR periode 2009-2014 sudah membuat rekomendasi melalui Keputusan No IV/MPR/2014 yang mengamanatkan agar MPR periode 2014-2019 mengkaji kemungkinan penataan sistem ketatanegaraan, termasuk jika diperlukan melalui amendemen UUD 1945.



Badan Pengkajian menyepakati 11 tema utama kajian, yakni Pancasila sebagai dasar negara, ideologi negara, dan sumber dari segala sumber hukum negara; penataan sistem peraturan perundang-undangan dengan berdasarkan Pancasila sebagai sumber segala sumber hukum negara; penataan sistem demokrasi Pancasila; penguatan kelembagaan MPR; penataan kewenangan DPD; penegasan Sistem Pemerintahan Presidensil; penataan kewenangan Komisi Yudisial, Mahkamah Konstitusi, dan Mahkamah Agung, serta penataan sistem dan konsep pembangunan model GBHN.



Jadi, sebenarnya gagasan strategis Megawati tersebut sejalan dengan rancangan kerja Badan Pengkajian MPR.



Secara substansi materi, gagasan memperkuat MPR dan mengembalikan konsep GBHN sudah disiapkan Badan Pengkajian, tinggal kesepakatan politik antara para pemimpin partai politik dan kelompok DPD yang dominan di MPR.



Walaupun dalam konsideran Keputusan No IV/MPR/2014 sudah dinyatakan ada tiga kelompok pendapat di masyarakat mengenai kemungkinan penataan sistem ketatanegaraan melalui amendemen.



Pertama, kelompok yang menganggap UUD 1945 perlu disempurnakan untuk mengikuti dinamika perkembangan masyarakat sehingga perlu dilakukan perubahan kembali.



Kedua, yang berpendapat amendemen yang sudah dilakukan belum sepenuhnya dilaksanakan, kurang tepat apabila saat ini dilakukan perubahan kembali.



Ketiga, kelompok yang kurang setuju terhadap usulan perubahan, termasuk perubahan sebelumnya atau tegasnya kembali pada UUD 1945 sebelum diamendemen.



Melihat situasi demikian ini, kelihatannya politik jalan tengah yang paling rasional di MPR.



Tidak mungkin saat ini secara politis untuk mengembalikan UUD 1945 sebelum amendemen, juga tidak mungkin mencegah jika ada aspirasi untuk memperbaiki sistem ketatanegaraan melalui perubahan UUD.



Kemungkinan yang paling dibutuhkan adalah menghormati perbaikan yang disepakati pada amendemen yang sudah dilakukan selama empat kali sebelumnya, tetapi sekaligus juga mengembalikan konsep-konsep fundamental yang terhilangkan karena amendemen tersebut, sementara keberadaannya masih sangat dibutuhkan sambil menyempurnakan bagian-bagian tertentu dan terbatas lain yang disepakati bersama.
Share this article now on :

Post a Comment

:)) ;)) ;;) :D ;) :p :(( :) :( :X =(( :-o :-/ :-* :| 8-} :)] ~x( :-t b-( :-L x( :-p =))