KABAR perombakan kabinet saat ini kian santer. Kabar itu menggelinding cepat sejak Panitia Khusus Angket Pelindo II DPR merekomendasikan agar Presiden Joko Widodo menggunakan hak prerogatifnya untuk memberhentikan Menteri Badan Usaha Milik Negara Rini M Soemarno. Pansus menuding Rini telah membiarkan terjadinya tindakan melawan hukum di PT Pelindo II.
Rekomendasi dari Senayan itu langsung disambar Ketua Dewan Pimpinan Pusat Partai Amanat Nasional Aziz Subekti. Dia mengaku mendapat informasi yang valid soal kocok ulang kabinet. Jika tidak ada aral melintang, penggantian menteri akan dilakukan pada Januari 2016. Aziz mengklaim PAN yang kini bergabung ke koalisi pemerintah bakal diberi jatah dua kursi menteri.
Sejauh ini, Presiden Joko Widodo belum bersuara soal perombakan kabinet jilid II. Memang jauh lebih elok jika Presiden tidak mengomentari usulan perombakan kabinet yang sudah melenceng jauh dari koridor sistem presidensial. Koridor sistem presidensial menyebutkan bahwa presiden memegang kekuasaan pemerintahan. Dalam menjalankan kekuasaan pemerintahan itu, presiden dibantu oleh menteri-menteri negara yang diangkat dan diberhentikan oleh presiden.
Sangat terang-benderang bahwa konstitusi memberi hak prerogatif kepada presiden untuk mengangkat dan memberhentikan menteri. Bahkan, pengaturan tentang persyaratan pengangkatan dan pemberhentian menteri dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian sama sekali tidak dimaksudkan untuk membatasi hak presiden dalam memilih seorang menteri.
Undang-undang itu hanya menekankan bahwa seorang menteri yang diangkat memiliki integritas dan kepribadian yang baik. Namun demikian, presiden diharapkan juga memerhatikan kompetensi dalam bidang tugas kementerian, memiliki pengalaman kepemimpinan, dan sanggup bekerja sama sebagai pembantu presiden. Dengan demikian, mempertahankan atau merombak kabinet merupakan hak mutlak Presiden yang tidak bisa diintervensi oleh siapa pun.
Karena itu, harus tegas dikatakan bahwa rekomendasi Panitia Khusus Angket Pelindo II DPR untuk memberhentikan Menteri Rini patut dianggap tidak etis. Disebut tidak etis karena sudah masuk kategori mengintervensi Presiden. Tidak ada dasar hukumnya DPR bisa merekomendasikan seorang menteri untuk dicopot. Pun, pengakuan Aziz Subekti bahwa dia mendapat informasi yang valid soal kocok ulang kabinet harus dianggap sebagai suara sumbang di tengah padang pasir.
Hal itu juga bisa ditafsirkan sebagai hasrat terselubung yang menggebu-gebu untuk berkuasa. Kita percaya bahwa Presiden punya pertimbangan yang arif untuk mempertahankan ataupun merombak kabinet. Belajar dari pengalaman tatkala merombak kabinet jilid I pada pertengahan Agustus 2015, Presiden tidak mau diintervensi. Saat itu, ia merombak kabinet berdasarkan pertimbangan rasional setelah melalui serangkaian proses evaluasi terhadap para menteri.
Presiden, bila hendak merombak kabinet, mestinya melakukannya tidak dengan sesuka hati, apalagi hanya karena tekanan pihak lain. Perombakan, bila memang harus dilakukan, harus didasarkan pada kebutuhan demi meningkatkan kinerja Kabinet Kerja. Ia harus bertujuan menguatkan kinerja pemerintah dalam melayani rakyat, bukan karena desakan dari pihak-pihak yang punya kepentingan.
Post a Comment