Wali, Kepala Daerah Ideal dengan Standar Islam
SEORANG pemimpin hendaknya adalah orang yang paling bersegera melayani umat, bukan yang paling segera minta dilayani umat. Dalam hal ini, Islam dengan segala kesempurnaannya telah memiliki referensi pasti tentang sosok pemimpin ideal. Berjuang untuk Islam, membutuhkan orang-orang yang mampu dan mau terjun dengan segala onak-durinya. Mengemban dakwah Islam pada dasarnya adalah proses inkubasi dan penggemblengan untuk mencetak orang-orang berkarakter pemimpin.
Ini tak lain karena dengan Islam itulah cahaya kemuliaan pada diri mereka akan nampak, yang akan membedakannya dengan golongan orang yang tidak mengemban Islam. Sebagaimana firman Allah Swt: “Hai orang-orang mukmin, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.” (TQS Muhammad [47]: 07).
Demikian pula sistem aturan kehidupan yang membidani kelahirannya, merupakan sistem shohih yang diwajibkan oleh Allah Swt Tuhan alam semesta, yakni Khilafah. Karenanya, seorang pemimpin seyogyanya adalah seorang pengemban dakwah Islam, hasil binaan partai bermabda Islam. Para pengemban dakwah adalah orang-orang yang telah memahami hakikat dakwah, termasuk di dalamnya mengkonsentrasikan kegiatannya terhadap masyarakat. Masyarakat itu sendiri dalam hal ini adalah sekumpulan orang yang dipersatukan oleh pemikiran, perasaan dan peraturan hidup yang sama. Karena itu penting untuk berpegang pada kaidah: “Perbaikilah masyarakat, niscaya individu akan menjadi baik, dan terus menerus dalam keadaan baik.”
Dalam sistem pemerintahan Islam, kepala suatu daerah disebut wali. Wali adalah orang yang diangkat oleh Khalifah sebagai penguasa (pejabat pemerintah) untuk suatu wilayah (propinsi) serta menjadi amîr (pemimpin) wilayah itu. Karena para wali adalah penguasa, maka mereka harus memenuhi syarat-syarat sebagai penguasa, yaitu: harus seorang laki-laki, merdeka, Muslim, balig, berakal, adil, dan termasuk orang yang memiliki kemampuan. Jabatan wali memerlukan adanya pengangkatan dari Khalifah atau orang yang mewakili Khalifah dalam melaksanakan pengangkatan itu. Wali tidak diangkat kecuali oleh Khalifah.
Rasulullah saw. dulu mengangkat para wali untuk berbagai negeri. Beliau menetapkan bagi mereka hak memutuskan persengketaan. Beliau telah mengangkat Muadz bin Jabal menjadi wali di wilayah Janad, Ziyad bin Walid di wilayah Hadhramaut, dan Abu Musa al-‘Asy‘ari di wilayah Zabid dan ‘Adn. Rasulullah saw. memilih para wali dari orang-orang yang memiliki kelayakan (kemampuan dan kecakapan) untuk memegang urusan pemerintahan, yang memiliki ilmu, dan yang dikenal ketakwaannya. Beliau memilih mereka dari kalangan orang-orang yang dapat melaksanakan tugas dengan baik dalam urusan yang menjadi kewenangannya dan yang dapat ‘mengairi’ hati rakyat dengan keimanan dan keagungan (kemuliaan) Negara. Imam Muslim menuturkan riwayat dari al-A’raj, dari Abu Hurairah, dari Nabi saw., bahwa Nabi saw. pernah bersabda: “Sesungguhnya Imam/Khalifah itu laksana perisai, tempat orang-orang berperang di belakangnya dan berlindung kepadanya.” (HR Muslim).
Adapun berkaitan dengan pemberhentian wali, seorang wali diberhentikan jika Khalifah memandang perlu untuk memberhentikannya atau jika penduduk wilayah itu atau mereka yang menjadi wakil penduduk wilayah tersebut menampakkan ketidakridhaan dan ketidaksukaan mereka terhadap walinya. Bahkan, seorang Khalifah berhak memberhentikan wali tanpa suatu sebab apapun. Seorang wali tidak dapat dipindahkan dari satu tempat ke tempat lain. Akan tetapi, ia dapat diberhentikan dan diangkat kembali untuk kedua kalinya. Maksudnya, ia harus diberhentikan dari tempat semula dan boleh diangkat kembali menjadi wali untuk memegang kepemimpinan di tempat baru dengan akad pengangkatan yang baru.
Di samping itu, Khalifah wajib mengontrol aktivitas-aktivitas para wali. Khalifah juga harus senantiasa melakukan pengawasan secara ketat terhadap para wali, baik hal itu dilakukan oleh Khalifah sendiri atau Khalifah menunjuk orang yang mewakilinya untuk menyelidiki kondisi mereka dan melakukan audit atas mereka.
Khatimah
Demikianlah sosok kepala daerah dalam Islam. Syaratnya singkat, tapi mantap. Proses pemilihan dan pemberhentiannya juga sederhana, tanpa memboroskan anggaran sebagaimana Pilkada dalam sistem demokrasi, bahkan diyakini tanpa konflik karena semua urusan yang bersangkutan, diketahui dan diputuskan hanya oleh Khalifah. Semua ini tak lain karena memilih pemimpin umat bukanlah perkara remeh. Karenanya, saat memilihnya jangan sampai ibarat kalimat “Di bawah pemimpin yang baik, anak buah bodoh pun ada gunanya. Tapi di bawah pemimpin yang bodoh, pasukan terbaik pun kocar-kacir.” Idealitas sosoknya harus sesuai dengan aturan Islam, bukan yang lain. Firman Allah Swt: “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (TQS. Al-A’raaf [07]: 96). Wallaahu a’lam bish showab
HABIS
Post a Comment