UNTUK kesekian kali seorang ketua ormas keagamaan terbesar Indonesia, kembali menebar pernyataan yang berdampak kurang baik di masyarakat. Pernyataan yang diungkapkan di hadapan jamaah itu, tidak hanya berdampak dalam mendorong permusuhan terhadap kelompok lain, tetapi mengaburkan kebenaran yang jelas sumber dan rujukannya. Pernyataannya yang tersebar luas lewat media sosial itu, setidaknya ada dua hal penting.
Pertama, Iblis shalat di celah-celah shaf. Berawal dari penjelasannya tentang pentingnya merujuk pada pandangan dan ijma’ ulama tentang perkara-perkara agama dan ibadah, kemudian dia menyinggung soal shalat. Menurutnya shalat yang baik dan benar adalah merujuk pada penjelasan para ulama. Kemudian dia menyinggung sekaligus mengkritik praktek shalat yang dilakukan oleh kelompok, yang disebutnya sebagai penganut wahabi yang shalatnya rapat dan mekangkang. Dalam orasinya dia mengatakan bahwa “wahabi-wahabi kalau shalat rapat, kakinya mekangkang, kaki harus ketemu satu sama lain. Hal itu untuk menutup celah bagi iblis masuk ke tempat yang kosong itu. Dia kemudian menegaskan bahwa dirinya senang apabila iblis bisa shalat bersama di tengah shaf tadi.
Kedua, malaikat Munkar dan Nakir belum sempat menanyai Gus Dur. Berawal dari penjelasannya bahwa ormas terbesar ini telah melahirkan tokoh besar seperti KH. Hasyim Asy’ari dan KH. Wahid Hasyim sehingga ormas ini punya andil yang besar terhadap negeri ini. Bahkan kemerdekaan negeri ini lewat karya dan kontribusi mereka. Tiba-tiba dia mengagungkan Gus Dur (Abdurrahman wahid) yang dikatakan sebagai pribadi “di atas cerdas” sehingga malaikat munkar Nakir masih antri untuk menanyainya.
Dia menjelaskan dengan mengutip penjelasan hadits shahih, bahwa “orang mati dimasukkan dalam kubur. Maka setelah pengiringnya pulang dan dalam keadaan sunyi sepi, datanglah malaikat munkar nahi bertanya man robbuka (siapa tuhanmu) dan man nabiyyuka (siapa nabimu). Lulusan Ummul Qura’ itu berkelakar bahwa dua malaikat itu hingga saat ini masih ngantri, dan sampai sekarang belum bisa menanyai karena pengunjungnya tak pernah berhenti.
Pernyataan berpotensi menghasut dan mengaburkan kebenaran
Dua pernyataan di atas mungkin merupakan kelakar dan bermaksud membuat audien tertawa. Namun implikasi dari pernyataan itu membawa efek buruk. Pertama, menghasut untuk mengajak permusuhan kepada kelompok lain. Penyebutan terhadap kelompok wahabi dengan nada sinis dan mengkerdilkan keberadaannya, akan mempengaruhi publik, khususnya kalangan akar rumput (grassroot). Masyarakat umum akan memberi label, kepada kelompok yang mempraktekkan shalat sebagaimana merujuk kepada nabi, sebagai sasaran olok-olok.
Padahal shalat yang benar dengan merapatkan shaf merupakan tuntunan nabi dan ditopang dengan banyak riwayat. Sabda nabi di antaranya, “Rapatkan shaf kalian, rapatkan barisan kalian, luruskan pundak dengan pundak. Demi Allah, Dzat yang jiwaku di tangan-Nya. Sungguh aku melihat setan masuk di sela-sela shaf seperti anak kambing.” (HR. Abu Dawud). Hadits yang lain disebutkan, “Luruskan shaf kalian, agar kalian bisa meniru shafnya malaikat, luruskan pundak-pundak, tutup setiap celah, dan buat pundak kalian luwes untuk teman kalian serta jangan tinggalkan celah-celah untuk setan. Siap yang menyambung shaf maka Allah akan menyambungnya siapa yang memutus shaf maka Allah akan memutuskannya.” (HR. Ahmad).
Demikian pula hadits yang lain yang menjelaskan “Ketika adzan dikumandangkan setan menjauh sambil terkentut kentut. Setelah adzan selesai, dia datang lagi, ketika iqamah dikumandangkan dia pergi. Setelah iqamah, dia balik lagi lalu membisikkan ke dalam hati orang yang shalat untuk ingat A, ingat B, menginginkan sesuatu yang tidak terlintas dalam ingatan hingga dia lupa berapa jumlah rakaat yang dia kerjakan.” (HR. Bukhari Muslim).
Penjelasan hadits-hadits di atas menunjukkan bahwa kehadiran setan di tengah shaf bukan untuk ikut shalat jamaah tetapi justru untuk menggoda orang yang sedang shalat. Andai tokoh ormas besar ini berada di tengah sahabat, kemudian nabi memerintahkan untuk merapatkan shaf, apakah dia akan mengatakan “Ya Rasulullah Alhamdulillah kalau setan mau shalat” apakah pernyataan begini tidak menyinggung Rasulullah dan membuat murka sahabat seperti Umar bin Khaththab ?
Begitu pula paparannya tentang dua malaikat yang sedang antri menunggu karena tak henti-hentinya pengunjung yang menziarahi makam Gus Dur. Bukankah ini justru melecehkan agama dan merendahkan mahkluk Allah (malaikat) yang suci ini. Bahkan seolah-olah dia mengetahui yang ghaib dan menafsirkan sesuatu seperti orang awam. Dua pernyataan tentang Iblis shalat berjamaah dan malaikat yang antri berimplikasi pada dua hal sekaligus. Pertama, merendahkan dan memandang remeh kelompok lain yang mempraktekkan sunnah-sunnah nabi, khususnya dalam menegakkan shalat berjamaah. Sepertinya apa yang diungkapkan itu sederhana dan sepele, tapi hal ini berdampak besar dan berujung permusuhan terhadap kelompok lain.
Kedua, melecehkan sunnah nabi. Penjelasan nabi tentang pentingnya menutup celah bagi setan untuk masuk dalam barisan shalat justru disanggah dengan pernyataan yang bertolak belakang dengan hadits nabi. Penjelasan nabi tentang kedatangan malaikat yang akan bertanya kepada mayit juga dilecehkan dengan kalimat antri karena banyaknya peziarah. Seolah-olah dia mengetahui yang ghaib dan menafsirkannya secara serampangan.
Awal sasaran kritiknya adalah kedengkiannya terhadap pelaku, tetapi tetapi yang terkena adalah kebenaran yang selalu dibawa pelaku. Semestinya sebagai seorang pemimpin ormas besar dengan jamaah yang banyak, bisa menebar senyuman dan membuat nyaman serta menghindari pelecehan terhadap kelompok lain dan pelecehan terhadap keagungan Rasulullah.
Post a Comment